Capek.....itulah hal yang ada dalam pikiranku. inginnya sih minum minuman seger sambil tiduran plus makanan kecil ditambah nonton TV. hm....surga dunia. tapi gak bisa...gak bisa karena aku lagi di perjalanan, perjalanan yang mengharuskanku untuk tetap semangat melakoninya. naon sih ? ada apa sih ?
jadi begini, sore itu aku abis dari Lembang, biasa abis nengok si kentang-kentangku. kebetulan hari itu aku abis nyemprotin mereka pake pestisida. nyemprot pestisidanya sih biasa walaupun salah pake sprayer, yang luar biasanya detik itu, waktu itu, hari itu dan bulan itu adalah bulan Ramadhan. oh tidak....kebayang gak sih ? udah mah puasa, bawa sprayer yg berisi pestisida 19 litter trus kudu nyemprotin pestisida itu ke tanaman kentangku. Capek, haus dan lemes. itu kesimpulannya.
kembali ke perjalanan tadi...
nah pas perjalanan dari Lembang menuju kota Bandung aku hanya terdiam di dalam angkutan umum, dan ternyata penumpang lainpun hanya terdiam. mungkin pikiran mereka sama denganku. atau mungkin mereka memikirkan hal-hal yang gak sama dengan ku. wallahualam..
setibanya di pangkalan Damri jalan Dipati Ukur, akupun naik salah satu bis kebetulan Bis AC. aku duduk di jok yg aku pikir paling enak buat merebahkan tubuh dan nyelonjorin si kaki ini. kupilihlah sebuah tempat di paling pojok belakang. tak lama bis pun berangkat, pak kondektur seperti biasanya dengan otomatis meminta uang ongkos dari para penumpang, kubayarlah tumpangan itu sebesar Rp. 3.500,-. abis bayar ongkos mata terasa ngantuk, sengaja ku pejamkan mata. dan akhirnya.....tertidur pulas...
zzzZZZZZZZZZZZZZZZZ............
zzzzZZZZZZZZZZZ..........
zzzZZZZZZZZZZZZZ...........
zzzzZZZZZZZZZZZZZZZZ........
zzzzZZZZZZZZZZZZZZ..........
zzzzzzZZZZZZZZZZZZ.........
tiba-tiba aku terbangun, ah oh eum...dimana ini pikirku..oh baru jalan. Ahmad Yani, ah Jatinangor masih jauh, kututup lagi tuh mata dan kurebahkan kepalaku ke sandaran jok tanpa memperdulikan penumpang bis yang duduk di sebelah. hehehe...
zzzzzzzzZZZZZZZZZZZZZ.........
zzzzzzzzzzzZZZZZZZZZZZz..........
zzzzzzzzzzzzzzZZZZZZZZZZz.........
zzzzzzzzzzZZZZZZZZZZZZZZZ...........
akupun terbangun lagi..ah uh oh eum...dimana ini? oh masih jalan Moh. Toha. masih jauh pikirku lagi...kulanjutkanlah tuh kegiatan
zzzZZZZZZZZZZZZZz..
zzzzZZZZZZZZZZZZ...
zzzzZZZZZZZZZZZZZZZz..
mataku terbuka lagi...wah udah nyampe jalan Tol, udah deket brati. aku hanya berpikir gitu. tapi tiba-tiba....
zzzzzzzzzZZZZZZ.......
zzzzzzzZZZZZZZZZZZ.........
zzzzzZZZZZZZZZZZ........
zzzzzzzzzzzZZZZZZZZZZZZZZZ...
zzzzzzzzZZZZZZZZZZZZZZZ....
"De...De...bangun De, ini sudah sampe Jatinangor"
serasa ada yg memanggil dan menggerakan tubuhku, aku terbangun. aku lihat pak kondektur berada di depanku. "ada apa pak?" tanyaku.
sambil senyum si bapak menjawab "ini udah nyampe Jatinangor"
"oh.." aku kaget.
langsung aja aku turun dari Bis yang udah kosong itu. di jalanan aku lihat orang-orang sudah makan dan minum. oh sudah buka rupanya. langsung aku beli sebotol minuman buat menyegarkan tubuhku yang lelah, cape, dan kering karena kecapean.
cesssssssss....Ahhhhhh......
Rabu, 21 Oktober 2009
Minggu, 18 Oktober 2009
BERMAIN BERSAMA CAPUNG
Hari itu sekolah diliburkan karena guru-guru akan mengikuti rapat di kantor kecamatan. Beberapa anak tampak bersorak kegirangan setelah mengetahui kabar tersebut. Asep kebetulan yang waktu itu datang kesiangan tampak bingung melihat teman-temannya berbondong-bondong pulang dari sekolah. Namun, setelah dikasih tau oleh Didin mengenai kabar yang sangat menggembirakan itu, Asep berjingkrak-jingkrak tidak karuan saking senangnya. Senang karena PR matematika yang ditugaskan Pak Maman wali kelasnya berarti tidak dikumpulkan hari itu. Setelah mengetahui akan hal itu, Asep pun langsung mengajak tiga orang temannya Didin, Andi dan Siti untuk bermain.
Pakaian seragam sekolah sudah mereka gantungkan di kamarnya masing-masing. Sekarang satnya untuk bermain. Seperti biasa mereka berkumpul di markas bersama terlebih dulu, sebuah rumah kosong dibelakang kantor kepala desa. Selain mereka ada lagi dua orang anak yang bergabung, Kiki dan Wiwi, satu-satunya sepasang anak kembar yang ada di desa itu. Hari itu mereka sudah merencanakan untuk melanjutkan perburuan mereka, menangkap target mereka untuk menetukan siapa "Sang Juara".
Di markas itu sudah tersedia senjata kebanggaan mereka. Senjata yang selalu mereka pakai tiap hari untuk menangkap target mereka. Senjata yang hanya terbuat dari batang pohon singkong yang panjangnya kurang lebih semeteran dan ujungnya dipasang sebatang lidi yang dilengkungkan. Berbentuk seperti sendok. Pada batang lidi yang dilengkungkan terdapat sarang laba-laba yang sengaja mereka pasangkan untuk mendapatkan target mereka. Target mereka adalah capung.
Menurut Pak Maman wali kelas mereka, capung adalah kelompok serangga yang termasuk kedalam bangsa Odonata. Biasanya terdapat di sekitar tempat yang ada airnya, karena serangga ini jarang jauh-jauh dari air. Air adalah tempat bertelur dan tempat untuk mebesarkan sebagian siklus hidup capung. Pada musim bertelur biasanya capung akan meletakan telurnya di batang tanaman yang tergenang air, telur menetas menjadi Naiad yang hidup di air. Selama hidup di air capung merupakan hewan karnivora yang ganas, bahkan bisa memakan berudu sampai anak ikan. Pada saat akan memasuki masa dewasa naiad akan naik kepermukaan air dan bertengger di batang pohon yang kemudian akan berubah menjadi capung dewasa.
Berdasarkan ilmu yang mereka dapatkan dari wali kelasnya tersebut, mereka memustuskan untuk mencari target mereka ke tempat yang ada airnya. Tak lama mereka pun sampai di tujuan mereka. Sawah. Seperti biasa mereka mencari titik yang enak untuk menangkap capung. Asep, Andi dan Didin berdiri di atas batu besar yang ada di tengah sawah, Kiki dan Wiwi melompat-lompat di tengah-tengah lahan sawah yang kering beusaha menangkapi capung yang berterbangan di atas kepalanya, sementara Siti asyik sendiri mengendap-endap berusaha menangkap capung yang hinggap di daun dan rerumputan.
Setelah beberapa lama mengorbankan tenaga dan membanting tulang untuk menangkap capung, akhirnya mereka pun beristirahat terlebih dulu di bawah pohon mangga di pinggir persawahan. Di dekat pohon mangga itu juga terdapat aliran irigasi yang menambah nyaman suasana. Di kesempatan itulah mereka menentukan siapa yang jadi “Sang Juara”, sang juara ditentukan dari jumlah tangkapan capung terbanyak. Dan seperti biasa Andi selalu jadi sang juara. setelah mengetahui siapa yang jadi sang juara, mereka pun pulang. Walaupun sekedar menangkap capung dan menentukan siapa yang jadi “Sang Juara of The Day” tapi mereka bahagia. Karena mereka anak-anak yang selalu ceria.
Hasil tangkapan capung mereka bawa ke rumah masing-masing, sebagian hasil tangkapan dijadikan makanan ayam sementara sisanya dipakai bermain oleh mereka. Sebelum pulang, mereka mengikat kaki capung dengan tali yang berasal dari serat pohon pisang, kemudian capung di biarkan terbang bebas tapi dengan kaki terikat. Yah setidaknya seperti layang-layang tapi bernyawa.
Seperti biasa malam harinya setelah mereka pulang pengajian, mereka berkumpul di pekarangan rumah Andi sambil ditemani makanan kecil yang disediakan Ibunya. Sambil bercengkrama mereka juga bercerita tentang tangkapan capung tadi siang. Siti mengeluh karena dia selalu dapat tangkapan paling sedikit. Sementara Andi membanggakan dirinya karena dia menjadi Sang Juara pada hari itu. Tiba-tiba Siti mengajukan sebuah saran, dia menantang teman-temannya untuk menangkap capung jenis lain. Capung jarum. Dia pikir dengan menantang teman-temannya untuk menangkap capung jarum, capung yang ukurannya lebih kecil dari capung yang biasa mereka tangkap, dia akan lebih unggul dari teman-temannya dalam jumlah tangkapan. Siti yakin karena dia sudah terbiasa menangkap capung yang hinggap di tanaman, tidak seperti teman-temannya yang lebih sering menangkap capung yang berterbangan. Memang capung jarum lebih sering hinggap di daun atau apapun yang bisa dihinggapi. Biasanya pada saat hinggap, capung jenis ini akan menutupkan sayapnya, berbeda dengan capung biasa yang suka membentangkan sayapnya ketika hinggap. Setelah mereka menimbang-nimbang saran dari Siti, akhirnya mereka memutuskan untuk menangkap capung jarum esok hari setelah pulang sekolah.
Esoknya di sekolah mereka merencanakan perburuan untuk hari itu. Tempat perburuan dan segalanya sudah mereka tentukan. Tapi tiba-tiba Kiki dan Wiwi mengurungkan niat untuk beburu capung jarum. Setelah ditanya sebabnya oleh yang lain, Kiki dan Wiwi memberikan alasan yang kurang masuk akal. Kata mereka berdua bahwa capung jarum adalah jelmaan dari kuntilanak. Jadi kalau capung jarum itu ditangkap maka akan menjelma menjadi kuntilanak. Anak-anak yang lain tiba-tiba diam mendengar alasan yang diberikan kedua anak kembar itu, namun dengan sanggahan Siti akhirnya mereka tetep meneguhkan niatnya untuk menangkap capung jarum, walaupun tanpa Kiki dan Wiwi.
Sore harinya Asep, Andi, Didin dan Siti menuju sungai kecil yang ada di desa mereka. Setelah berkeliling-keliling di sekitar sungai akhirnya mereka menemukan capung-capung jarum yang berterbangan. Tak lama mereka turun ke sungai yang tidak dalam itu untuk menangkap capung jarum.
Ternyata memang sulit untuk menangkap capung jaram, sekitar 30 menit di tempat itu saja mereka baru menangkap beberapa ekor saja. Akan tetapi mereka terus semangat untuk menangkap target mereka.
Tanpa terasa hari sudah hampir gelap, dan tiba-tiba “Aaaaaaaaaaaaa….” terdengar teriakan Siti yang mengagetkan semuanya. Kemudian Asep, Andi dan Didin menghampiri siti dan bertanya mengapa. Dengan wajah ketakutan Siti menceritakan semuanya, dia melihat bayangan putih seperti sesosok wanita di balik pohon beringin di seberang sungai. Tanpa pikir panjang lagi mereka semua langsung berlari terbirit-birit menjauh dari sungai itu. Dan capung jarum yang mereka tangkapun mereka lepaskan begitu saja.
Setelah merasa cukup jauh dari sungai itu, mereka berhenti sejenak untuk mengehla nafas yang tersengal-sengal karena ketakutan. Saat mereka berhenti sejenak itu, mereka hanya bisa memandang satu sama lain dengan muka penuh tanya. Tanpa pikir panjang lagi mereka lari kembali menuju rumah masing-masing. Ketika sampai rumah, mereka disambut adzan maghrib yang berkumandang dari mesjid raya di desa mereka.
Setelah kejadian penampakan sesosok berwarna putih di sungai itu, mereka berhenti menangkap capung. Tapi mereka berhenti menangkap capung bukan karena kejadian tersebut, tapi karena musim telah memasuki musim penghujan yang memang capung tidak akan terlihat banyak berterbangan. Namun, di musim kemarau tahun depan mereka sudah berjanji untuk tetap akan menangkap capung. Termasuk capung jarum.
Pakaian seragam sekolah sudah mereka gantungkan di kamarnya masing-masing. Sekarang satnya untuk bermain. Seperti biasa mereka berkumpul di markas bersama terlebih dulu, sebuah rumah kosong dibelakang kantor kepala desa. Selain mereka ada lagi dua orang anak yang bergabung, Kiki dan Wiwi, satu-satunya sepasang anak kembar yang ada di desa itu. Hari itu mereka sudah merencanakan untuk melanjutkan perburuan mereka, menangkap target mereka untuk menetukan siapa "Sang Juara".
Di markas itu sudah tersedia senjata kebanggaan mereka. Senjata yang selalu mereka pakai tiap hari untuk menangkap target mereka. Senjata yang hanya terbuat dari batang pohon singkong yang panjangnya kurang lebih semeteran dan ujungnya dipasang sebatang lidi yang dilengkungkan. Berbentuk seperti sendok. Pada batang lidi yang dilengkungkan terdapat sarang laba-laba yang sengaja mereka pasangkan untuk mendapatkan target mereka. Target mereka adalah capung.
Menurut Pak Maman wali kelas mereka, capung adalah kelompok serangga yang termasuk kedalam bangsa Odonata. Biasanya terdapat di sekitar tempat yang ada airnya, karena serangga ini jarang jauh-jauh dari air. Air adalah tempat bertelur dan tempat untuk mebesarkan sebagian siklus hidup capung. Pada musim bertelur biasanya capung akan meletakan telurnya di batang tanaman yang tergenang air, telur menetas menjadi Naiad yang hidup di air. Selama hidup di air capung merupakan hewan karnivora yang ganas, bahkan bisa memakan berudu sampai anak ikan. Pada saat akan memasuki masa dewasa naiad akan naik kepermukaan air dan bertengger di batang pohon yang kemudian akan berubah menjadi capung dewasa.
Berdasarkan ilmu yang mereka dapatkan dari wali kelasnya tersebut, mereka memustuskan untuk mencari target mereka ke tempat yang ada airnya. Tak lama mereka pun sampai di tujuan mereka. Sawah. Seperti biasa mereka mencari titik yang enak untuk menangkap capung. Asep, Andi dan Didin berdiri di atas batu besar yang ada di tengah sawah, Kiki dan Wiwi melompat-lompat di tengah-tengah lahan sawah yang kering beusaha menangkapi capung yang berterbangan di atas kepalanya, sementara Siti asyik sendiri mengendap-endap berusaha menangkap capung yang hinggap di daun dan rerumputan.
Setelah beberapa lama mengorbankan tenaga dan membanting tulang untuk menangkap capung, akhirnya mereka pun beristirahat terlebih dulu di bawah pohon mangga di pinggir persawahan. Di dekat pohon mangga itu juga terdapat aliran irigasi yang menambah nyaman suasana. Di kesempatan itulah mereka menentukan siapa yang jadi “Sang Juara”, sang juara ditentukan dari jumlah tangkapan capung terbanyak. Dan seperti biasa Andi selalu jadi sang juara. setelah mengetahui siapa yang jadi sang juara, mereka pun pulang. Walaupun sekedar menangkap capung dan menentukan siapa yang jadi “Sang Juara of The Day” tapi mereka bahagia. Karena mereka anak-anak yang selalu ceria.
Hasil tangkapan capung mereka bawa ke rumah masing-masing, sebagian hasil tangkapan dijadikan makanan ayam sementara sisanya dipakai bermain oleh mereka. Sebelum pulang, mereka mengikat kaki capung dengan tali yang berasal dari serat pohon pisang, kemudian capung di biarkan terbang bebas tapi dengan kaki terikat. Yah setidaknya seperti layang-layang tapi bernyawa.
Seperti biasa malam harinya setelah mereka pulang pengajian, mereka berkumpul di pekarangan rumah Andi sambil ditemani makanan kecil yang disediakan Ibunya. Sambil bercengkrama mereka juga bercerita tentang tangkapan capung tadi siang. Siti mengeluh karena dia selalu dapat tangkapan paling sedikit. Sementara Andi membanggakan dirinya karena dia menjadi Sang Juara pada hari itu. Tiba-tiba Siti mengajukan sebuah saran, dia menantang teman-temannya untuk menangkap capung jenis lain. Capung jarum. Dia pikir dengan menantang teman-temannya untuk menangkap capung jarum, capung yang ukurannya lebih kecil dari capung yang biasa mereka tangkap, dia akan lebih unggul dari teman-temannya dalam jumlah tangkapan. Siti yakin karena dia sudah terbiasa menangkap capung yang hinggap di tanaman, tidak seperti teman-temannya yang lebih sering menangkap capung yang berterbangan. Memang capung jarum lebih sering hinggap di daun atau apapun yang bisa dihinggapi. Biasanya pada saat hinggap, capung jenis ini akan menutupkan sayapnya, berbeda dengan capung biasa yang suka membentangkan sayapnya ketika hinggap. Setelah mereka menimbang-nimbang saran dari Siti, akhirnya mereka memutuskan untuk menangkap capung jarum esok hari setelah pulang sekolah.
Esoknya di sekolah mereka merencanakan perburuan untuk hari itu. Tempat perburuan dan segalanya sudah mereka tentukan. Tapi tiba-tiba Kiki dan Wiwi mengurungkan niat untuk beburu capung jarum. Setelah ditanya sebabnya oleh yang lain, Kiki dan Wiwi memberikan alasan yang kurang masuk akal. Kata mereka berdua bahwa capung jarum adalah jelmaan dari kuntilanak. Jadi kalau capung jarum itu ditangkap maka akan menjelma menjadi kuntilanak. Anak-anak yang lain tiba-tiba diam mendengar alasan yang diberikan kedua anak kembar itu, namun dengan sanggahan Siti akhirnya mereka tetep meneguhkan niatnya untuk menangkap capung jarum, walaupun tanpa Kiki dan Wiwi.
Sore harinya Asep, Andi, Didin dan Siti menuju sungai kecil yang ada di desa mereka. Setelah berkeliling-keliling di sekitar sungai akhirnya mereka menemukan capung-capung jarum yang berterbangan. Tak lama mereka turun ke sungai yang tidak dalam itu untuk menangkap capung jarum.
Ternyata memang sulit untuk menangkap capung jaram, sekitar 30 menit di tempat itu saja mereka baru menangkap beberapa ekor saja. Akan tetapi mereka terus semangat untuk menangkap target mereka.
Tanpa terasa hari sudah hampir gelap, dan tiba-tiba “Aaaaaaaaaaaaa….” terdengar teriakan Siti yang mengagetkan semuanya. Kemudian Asep, Andi dan Didin menghampiri siti dan bertanya mengapa. Dengan wajah ketakutan Siti menceritakan semuanya, dia melihat bayangan putih seperti sesosok wanita di balik pohon beringin di seberang sungai. Tanpa pikir panjang lagi mereka semua langsung berlari terbirit-birit menjauh dari sungai itu. Dan capung jarum yang mereka tangkapun mereka lepaskan begitu saja.
Setelah merasa cukup jauh dari sungai itu, mereka berhenti sejenak untuk mengehla nafas yang tersengal-sengal karena ketakutan. Saat mereka berhenti sejenak itu, mereka hanya bisa memandang satu sama lain dengan muka penuh tanya. Tanpa pikir panjang lagi mereka lari kembali menuju rumah masing-masing. Ketika sampai rumah, mereka disambut adzan maghrib yang berkumandang dari mesjid raya di desa mereka.
Setelah kejadian penampakan sesosok berwarna putih di sungai itu, mereka berhenti menangkap capung. Tapi mereka berhenti menangkap capung bukan karena kejadian tersebut, tapi karena musim telah memasuki musim penghujan yang memang capung tidak akan terlihat banyak berterbangan. Namun, di musim kemarau tahun depan mereka sudah berjanji untuk tetap akan menangkap capung. Termasuk capung jarum.
Langganan:
Postingan (Atom)